Kamis, 05 November 2015

Kembali lagi

Hmmmm......sudah lama blog ini tidak memuat tulisan. Kemana saja aku selama ini? Apa saja yang kulakukan selama ini? Blog ini jadi terlihat usang. Ya...tanpa sesuatu yang baru. Sepertinya harus kembali membuat tantangan pada diri sendiri agar lebih produktif. 1 hari, 1 tulisan selama 30 hari.

Selasa, 25 Mei 2010

ZAMAN CINTA

Seribu puisi yang kau berikan padaku
seperti pesan-pesan yang terhembus lewat merpati
sebagai sandi-sandi yang sulit terpecahkan.
Mengapa kita harus berlama-lama menjadikannya rahasia?
Bukankah lebih baik kita buka saja semuanya di meja makan
seperti percakapan-percakapan sebelumnya.
Tapi tetap saja kau ingin kita bersembunyi di bawah ranjang.
Tidakkah kau tau, kolong ranjang ini terlalu sesak buatku.
Aku ingin keluar
dan bercerita dengan nafas yang bebas.
Aku sudah terlalu muak dengan cerita cinta yang basi,
menyayangkan mengapa Romeo dan Juliet bunuh diri,
dan memaklumi mengapa Siti Nurbaya meninggalkan Samsul Bahri.
Kau bilang semua itu pengorbanan.
Tapi kubilang semua itu kebodohan.
Aku tidak ingin hidup di zaman cinta yang terkekang
Aku ingin hidup di jaman cinta yang lantang

Sri Ruwanti
Jogja, Mei 2010

ZAMAN CINTA

Seribu puisi yang kau berikan padaku
seperti pesan-pesan yang terhembus lewat merpati
sebagai sandi-sandi yang sulit terpecahkan.
Mengapa kita harus berlama-lama menjadikannya rahasia?
Bukankah lebih baik kita buka saja semuanya di meja makan
seperti percakapan-percakapan sebelumnya.
Tapi tetap saja kau ingin kita bersembunyi di bawah ranjang.
Tidakkah kau tau, kolong ranjang ini terlalu sesak buatku.
Aku ingin keluar
dan bercerita dengan nafas yang bebas.
Aku sudah terlalu muak dengan cerita cinta yang basi,
menyayangkan mengapa Romeo dan Juliet bunuh diri,
dan memaklumi mengapa Siti Nurbaya meninggalkan Samsul Bahri.
Kau bilang semua itu pengorbanan.
Tapi kubilang semua itu kebodohan.
Aku tidak ingin hidup di zaman cinta yang terkekang
Aku ingin hidup di jaman cinta yang lantang

Sri Ruwanti
Jogja, Mei 2010

Rabu, 26 Agustus 2009

SANDEKALA

Aku tidak pernah lupa nasehat ibu tentang sandekala. Mahluk yang berkeliaran saat pergantian waktu. Ia melahap senja dan kemudian menjadikan jagad raya gelap gulita.“ Pada saat itulah kita tidak boleh keluar rumah, atau mengerjakan sesuatu”, suara ibu lirih. Ia mendekatkan bibirnya ditelingaku seakan pembicaraan itu tidak boleh terdengar oleh siapapun kecuali kami berdua.

“Mereka siap memangsamu. Kalau kamu sampai ditangkap oleh mereka, kamu tidak akan menemukan jalan pulang. Itu artinya kamu tidak bisa bertemu ibu lagi”. Nasehat itu berkali-kali dijejalkan ditelingaku. Setiap ibu bercerita tentang sandekala, maka pada saat itu jugalah tubuhku terasa kaku. Aku tidak mampu bergidik dari posisi dudukku. Mataku terbelalak menatap ibu. Bulu di bagian tengkukku juga terasa berdiri. Aku mulai mereka-reka wujud dari sandekala, mahluk jahat yang berkeliaran diujung senja. Kubayangkan ia adalah sosok dengan mata menyala, ada taring yang tumpah pada kiri dan kanan ujung bibirnya. Badannya tinggi, lebih tinggi dari pohon pisang yang ada disebelah rumahku. Dan yang tidak kalah seramnya, perutnya membuncit seperti mau pecah.

Lambat laun aku mulai bosan dengan bentuk itu. Bentuk itu tidak lagi menyeramkan buatku. Ia lebih pantas disebut lucu ketimbang menyeramkan. Yah...seperti monster pada film kartun di minggu pagi yang sering ku tonton di tv milik keluarga Joko, tetanggaku. Aku coba membanyangkan bentuk baru. Kulitnya legam, tangan sebelah kanannya tak utuh, hanya tersisa ibu jari. Tapi itupun tidak mengurangi kesan angker pada mahluk itu. Yang tidak kalah seramnya, rambutnya menjuntai sampai ketanah. Buah dadanya sebesar kelapa. Tubuhnya dipenuhi bulu.

Begitulah seterusnya aku selalu mencari bentuk sandekala dan merubahnya sesukaku. Pernah suatu hari aku mencoba untuk mencari sandekala sebenarnya dan membandingkanya dengan punyaku. Menjelang malam, dengan langkah ragu-ragu aku keluar rumah dan berdiri di depan pintu. Kulihat sekeliling, sepi. Hanya samar-samar suara adzan dari langgar terdengar. Aku masih belum menemukan sesuatu yang aneh. Beberapa jangkrik bersahutan memecah malam. Langit lambat laun gelap. Udara tidak seperti biasanya. Kali ini jauh lebih dingin. Angin seperti membelai diwajahku dan berlahan gigilkan persendian tulangku. Lalu aku merasa semakin dingin di bagian tengkuk. Seperti ada sesuatu di belakang yang semakin dekat ingin menggapaiku. Lebih dekat dan semakin dekat. Tubuhku gemetaran. Pundakku kaku, mahluk itu benar-benar berhasil menggapiku.
“ Hei las, ngapain kamu maghrib-maghrib berdiri di depan pintu. Ra ilok!! San-de-ka-la, ingat yang ibu ceritakan itu”. Aku memutar leherku empat puluh lima derajat. Kulihat wajah ibu dengan kening dikerutkan. Huuuffff.......
Besoknya aku tidak dapat bangkit dari dipan. Tubuhku lemas mengigil. Kepalaku terasa berat. Mungkin, ini efek dari gagalnya penculikan yang akan dilakukan oleh sandekala itu. Tapi ini tidak akan membuatku berhenti untuk menemukannya.
***
Seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan aku mulai mengubur sandekala. Tapi tidak serta merta melupakannya. Khayalanku akhir-akhir ini adalah taman bunga. Dimana banyak kumbang yang bertebaran disana, mencari aroma segar dan hinggap di bunga yang paling indah. Aku adalah bunga dengan aroma segar dengan tangkai dan akar yang kokoh. Tangkaiku masih kuat menopang beban di kelopak yang menjadi tempat bermain-main. Dan aku ingin menjadi yang paling indah. Aku ingin kumbang-kumbang itu menghinggapiku.

Adalah Gardi, lelaki dengan gambar dewi di lengan kanannya. Aku nobatkan dia sebagai kumbang jantanku. Dia membuatku selalu ingin menebar aroma segar kemanapun aku pergi. Bagiku pesona itu tidak datang sendiri, tapi harus diciptakan. Aku berharap kumbang jantanku itu ada disekitraku dan mengendus kesegaran yang aku sebarkan. Lalu mengejar dan membawaku terbang. Aku ingin bersenggayut bersama dewi-dewi yang ada dilengannya itu. Maka pesona itulah yang membawanya padaku. Ia menggiringku pada pengalaman-pengalaman percintaan yang belum aku kenal. Belakangan aku baru sadar, bahwa pengalaman-pengalam percintaan bagi pemula sama rasanya saat kita mencoba bermain flying fox untuk pertama kalinya. Sesuatu yang terlihat mengerikan, tapi membuat kita penasaran ingin mencobanya. Kelak, aku benar-benar mencoba bermain rubah terbang itu.

Kami tidak dapat menutupi kedekatan hubungan ini dan keliaran imajinasi orang-orang yang melihatnya., termasuk ibuku. Yang jelas-jelas tsangat membenci Gardi. Wajahnya tidak pernah tampak bersahabat bila berpapasan dengan kumbang jantanku itu. Lebih-lebih bila Gardi berkunjung ke rumahku. Ada saja alasan supaya aku tidak bisa berlama-lama menemui Gardi. Tidak jelas apa yang membuat ibu begitu benci padanya. Menurutku ibu hanya menanamkan curiga yang berlebihan kepada Gardi. Hanya karena tampilan fisiknya yang jauh berbeda dengan pemuda-pemuda pada umumnya di kampungku. Selain punya banyak tato, potongan rambutnyapun unik. Rambut sebelah kiri dan kanannya diplontos, dan selebihnya dibiarkan panjang sebahu. Supaya tidak gerah, ia sering mengucir rambutnya. Tidak itu saja keunikannya, rambut bagian depannyapun dicat dengan warna merah menyala. Aku tidak aneh dengan penampilannya, justru senang dan punya kebanggan sendiri. Maklum saja, diantara pemuda-pemuda desa, cuma Gardi yang bekerja dikota. Dan aku meyakini bahwa penampilan Gardi adalah salah satu bentuk penguangkapan identitas, bahwa dia telah menjadi orang kota.

Sikap dingin ibu membuat aku dan Gardi tidak bisa bebas bertemu. Karena ibu selalu mengawasiku. Baik langsung, maupun lewat informasi dari tetangga. Dan keadaan itu membuatku merasa terpasung. Pekerjaan yang biasanya kulakukan diluar rumah seperti ngarit-pun sudah diambil alih oleh ibu. Aku benar-benar sudah tidak punya ruang lagi selain rumah. Dadaku penuh sesak menahan kekesalanku pada ibu. Aku ingin segera membuka pasung yang membelnggu ini dan lari sejauh-jauhnya bersama Gardi, kumbang jantanku. Maka aku menyepakati rencana Gardi untuk membawaku ke kota. Tentunya tanpa sepengetahuan ibuku. Aku mulai menyiapkan keperluan seadanya. Karena aku yakin kumbang jantanku itu akan memenuhi segala kebutuhanku sesampainya di kota nanti. Kusiapkan juga sepucuk surat dibawah bantal. Walaupun aku marah pada ibu, tapi aku sangat sayang padanya. Paling tidak itu yang ingin kuucapkan padanya. Walaupun aku tidak bisa mengucapkannya secara langsung.
Hari hampir gelap, Gardi sudah menunggu diujung jalan kampung. Aku sedikit khawatir dengan perjalanan ini. Tiba-tiba nasehat ibu yang sudah lama tidak ku dengar seperti berbisik kembali di telingaku. San-de-ka-la.

“Kenapa harus jam segini sih, kang?”, tanyaku penuh cemas
“Karena cuma jam segini waktu yang tepat untuk pergi. Orang-orang kampung gak banyak yang keluar kalau jam segini, Las. Lagi pula kita harus mengejar bis. Gak setiap jam bis kekota itu ada lho, Las”, Gardi mencoba meyakinku.

Lalu kupercayakan kumbang jantanku itu membawaku pergi jauh dari kampung, dari ibuku demi sesuatu yang kami perjuangkan, cinta. Kami menembus udara dingin , dan disaat sandekala sedang berkeliaran. Dan benar, aku tidak pernah menemukan jalan pulang. Terjebak pada dunia malam dan budak pemuas nafsu. Terbuai dalam dekapan laki-laki yang satu ke laki-laki lainnya yang tidak pernah kuhapal namanya satu persatu. Ibu, Sandekala jahanam itu telah menculikku.

Batam, 26 Agustus 2009
Sri Ruwanti

Kamis, 04 Juni 2009

SEBILAH LIDAH

Sebilah lidah
Bertubi-tubi menelanjangi
Menyayat berkali-kali
dari semua sudut jiwaku
Sejenakpun terasa ngilu
ketika kata-kata adalah senjata
untuk beribu kamuflase barisan warna
entah putih
entah hitam
entah abu-abu
entah untuk jawaban yang tak kutemu

Sebilah lidah menyayat, menusuk, merobek
Tetap tak kutemu
Dan terus sembunyinya adalah ancaman
Menyemburkan agitasi tanpa henti
Hingga hilang semua eksistensi diri
Kemana mencari jalan pulang
Untuk sebuah nama yang tak lagi jelas bentuk serta rupa
Sebilah lidah
Aku menunggu waktu menumpulkanmu

Batam, Juni 2009

Kamis, 23 April 2009

RINDU BASAH

Aku merindukan jejak hujan yang menapaki tanah
pada pekarangan yang tak pernah terjamah
Jenuh musim kering
Sesaat setelah tak kutemukan rinduku
Mungkin angin telah membawa samar kabar itu
kepada musism-musim lain yang tak pernah singgah
Lalu kuteruskan cerita pada jenuh musim kering
Angan tak berkesudahan tentang hujan
Dedaun yang sesekali jatuh ke tanah
Senyawa mereka rindukan hujan
Datang, datanglah….
Aku ingin kau mendengar gemeratak gigilku
Saat hujan terderai dan bibirku menjadi ungu
Dekap, dekaplah…
Tak perduli peluh kan jauh menggenang
Jangan pernah tertidur sedetikpun
Aku ingin kita terus terjaga dalam basah

Batam,April 2009

Minggu, 01 Maret 2009

PESULAP ATAU PENJAJA WAJAH

Disini wajah-wajah menyeringai cuma-cuma
Menjadi gerbong yang terjejer di jalan-jalan kota, perkampungan bahkan sampai ke ceruk duka. Menawarkan perubahan dengan mengucap beribu-ribu mantera yang tergelar pada mimbar-mimbar para pemimpi.

Jika mantera tak jitu
Maka wajah tak laku
Puah...
Kita terjejal pada rayuan untuk membeli

"Ayolah para pemimpi, suarakan suaramu padaku", teriak wajah-wajah yang menjajakan wajahnya
di trotoar-trotoar
di jalan-jalan
di pasar-pasar
di pohon-pohon
bertengger di pagi, siang dan malam hari
Menyeruak lantang pada televisi, majalah dan koran
menyuntikkan utopia pada kerumunan tidur panjang
bertebaran di langit-langit mimpi
dimana-mana berkabut wajah

Tenang saja, masih ada tongkat sakti
jikalau mantera ini telah membuih
yang dapat menyulap mimpi menjadi pasti
seperti merubah bunga menjadi kelinci
yang keluar dari topi

Kau pesulap ataukah penjaja wajah?
Bisakah aku tak memilih diantara kerancuan bentuk dan rautmu?

Tardji on perform