Senin, 25 Agustus 2008

SANG MONUMEN

Waktu adalah kendaraan yang tak pernah berhenti. Jika ia berhenti, maka berarti selesailah satu fase kehidupan. Setelah itu, waktu akan menyeret melaju ke fase kehidupan yang lain. Dan aku belum dapat membayangkan fase kehidupan dimana waktu juga akan menyeretku kesana. Tapi yang pasti, waktu jugalah yang membawaku kembali kesini. Kota dimana aku mencium hawa kehidupan untuk pertama kalinya. Cukup lama aku meninggalkan kota ini. Aku rindu dengan segala yang ada disini. Aku rindu sengat matahari yang menjilat permukaan laut. Aku rindu menghirup aroma asinya. Aku rindu mengotori bajuku dengan lumpur laut saat bermain bola ketika air surut. Aku rindu mencari kulit keong, kerang dan siput untuk kujadikan hiasan dinding yang membentuk huruf J. Dan kuberikan itu kepada Janah. Gadis yang membuat aku merasakan jantungku berdebar pertama kalinya ketika bertemu wanita. Ibuku juga wanita, dan aku juga berdebar jika melihat ibu kalau aku ketahuan habis mandi di laut. Ibu selalu khawatir kalau laut akan menyeretku jauh. Jadi kurelakan kedua telapak tanganku menerima sebatan rotan sebagai hadiah dari ketidak patuhanku atas nasehat ibu. Kupikir ibu tidak adil untuk hal yang satu ini. Dan tentu saja debaranku saat bertemu ibu beda dengan saat ku bertemu Janah. Aih….manis sekali anak itu. Ia lebih terlihat manis jika menyelipkan jepit rambut yang kubuat dari kulit kerang untuknya. Penghias rambut itu seolah-olah menari diatas hamparan samudera yang terbias matahari. Berkilau bagaikan butiran-butiran intan. Ingin aku menenggelamkan kedua tanganku kedalamnya. Lalu menghirupnya dalam-dalam. Ah sayang, Janah ditakdiran hanya supaya aku mengenal cinta. Selebihnya tidak. Sudah lama aku tidak bertemu dengan anak itu. Kira-kira bagaimana kabarnya sekarang. Ah..tapi kedatanganku kembali kesini bukan karena ingin bertemu dengannya.
Aku hanya ingin kembali menikmati monumen pahlawan yang dijadikan kebanggan kota ini. Dimana dulu aku sering bermain disana. Aku suka dengan arsitektur monumen itu. Walaupun terkesan sederhana, tapi bagiku mempunyai arti yang mendalam. Empat tiang penyanggah sebuah segi empat yang sedikit melengkung. Kira-kira menyerupai mangkuk. Tapi bisa juga terlihat seperti permadani yang sedang terbang. Diatas segi empat itu berdiri patung pahlawan yang mengenakan baju adat khas daerah ini dilengkapi dengan sarung keris dipinggangnya. Tangan kanannya mengacungkan keris dengan gagah.
Namun sekembalinya aku ke kota ini, aku tak menemukan monumen tersebut dalam keadaan utuh. Ada yang membuat monumen tersebut tampak tak sempurna. Aku tidak menemukan sang pahlawan berdiri diatasnya. Yang aku dengar patung itu hilang seketika. Tak ada yang mengetahui persis bagaimana cerita sebenarnya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa ingin tauku.
“Angin telah membawanya pergi. Alam begitu mengerti apa yang terjadi. Sudah saatnya kepiluan dihapuskan.”
Aku menolehkan wajahku seketika. Aku tak tau sedari tadi orang tua ini duduk disampingku yang tak melepaskan pandanganku dari monumen itu. Mungkin dia coba untuk menjawab apa yang mestinya cuma aku yang tau. Karena sedari tadi aku memang tidak berbicara pada siapapun perihal kebingunganku.
“Apa yang ingin bapak coba jelaskan pada saya?”

“Kerutan dikeningmu adalah tanda tanya, bukan?

“Oh jadi patung itu ambruk dihajar angin ya?”

“Kalau dihajar angin pasti orang-orang sudah menemukan serpihan patung itu pagi harinya.”

“Maksud bapak, patung itu hilang seketika”, aku semakin tak mengerti dengan arah pembicaraan orang tua ini.

“Bukan hilang, tapi dibawa”.

Orang tua ini mulai ngawur. Dia mengatakan bahwa ada yang membawa patung itu pergi. Dan orang tua itu sempat bercerita bahwa malam dimana paginya patung tersebut dinyatakan hilang, hujan turun tak henti-henti. Anginpun seolah menguasai alam. Dingin merasuk sampai ke rongga-rongga tulang. Orang-orang hanya bersembunyi dibalik selimutnya masing-masing. Kota seakan mati. Jadi, memang tak ada yang tau persis kejadian malam itu. Paginya, orang-orang mendapati monumen tersebut masih tegak berdiri, hanya saja tanpa sang pahlawan diatasnya. Tak ditemukan tanda-tanda kalau patung tersebut ambruk dihajar angin. Semuanya seperti biasa.
Mulai saat itu, banyak mitos yang berkembang tentang patung itu. Ada yang bilang kalau patung itu sudah terisi jin. Jin tersebut sudah merasa nyaman dengan patung itu. Dan mulai bosan tinggal berlama-lama disana. Maka dari itu, dibawanyalah patung itu pergi mencari tempat yang baru. Dimana tempatanya? Itupun tak jelas.
Ada lagi yang mengatakan, bahwa sebenarnya patung tersebut memang benar-benar ambruk dan berderai jadi debu. Tapi karena patung tersebut adalah patung orang baik, maka alam membersihkan semua reruntuhannya. Sampai tak berbekas. Memang macam-macam cerita yang berkembang. Tapi orang tua ini mencoba meyakiniku bahwa ceritanyalah yang paling benar. Bahwa anginlah yang membawa sang patung pergi karena kesedihannya. Kalau cerita-cerita sebelumnya saja bisa membuatku tak yakin. Apalagi cerita pak tua ini. Omong kosong. Kalau memang angin bisa mengangkat patung itu. Berarti bisa mengangkat yang lain yang ada disekitarnya juga mestinya. Tapi kenapa yang lain ditinggalkan tersisa? Lho, kenapa jadi aku yang dibuat bingung? Sepertinya omongan orang tua itu tak boleh dibuang seratus persen.
Ah.....daripada aku lebih bingung, lebih baik biar kunikmati saja monumen yang kehilangan salah satu bagian terpentingnya ini. Kuputuskan untuk menghabiskan malam di taman kota dekat monumen tersebut. Dan aku harus rela berbagi dengan orang-orang yang memutuskan untuk tidak pulang kerumah mereka dan menghabiskan malam mereka di taman ini juga. Atau mereka malah tak tau harus pulang kemana. Mereka adalah orang-orang yang terdampar dan belum menemukan jalan pulang. Kesialan terbesar meraka jika dianggap sebagai perusak keindahan kota. Operasi ketertiban yang digelar semata-mata hanya membersihkan mereka terlihat saja. Padahal mereka ada dimana-mana. Bahkan disudut-sudut gedung megah di kota ini. Mereka tetap ada. Oh ya, apa jadinya kalau nanti aku dianggap salah satu bagian dari mereka. Ah gampang, kalau nanti ada razia kamtib, kan aku punya KTP. Dan kubilang saja aku sedang bertengkar dengan istriku dan malas untuk pulang kerumah.
Angin laut yang menyapu taman ini membiusku. Mataku sudah berat menikmati sepotong bulan yang tersaji manis di langit. Hening menyelimuti hangat tidur para pemimpi yang belum menemukan jalan pulang. Tak bisa ketepis kantukku, namun tak bisa juga kularut dalam mimpiku. Sayup-sayup kudengar dentuman musik dan sorak sorai seperti sekumpulan orang yang sedang memulai pesta. Namun semakin lama semakin jelas suaranya. Dengan pandangan berbayang kulihat sekelilingku. Aku tak menemukan apa-apa selain orang-orang yang masih terlelap. Aku menelentangkan tubuhku. Pandanganku tepat mengarah pada puncak monumen. Puncak monumen itu tidak terlihat seperti siang tadi. Sepi dan mati. Aku melihat puncak monumen itu seperti sebuah panggung pertunjukkan yang gemerlap. Lampu warna warni berputar-putar seirama dengan dentuman musik. Dua wanita sexy dengan pakaian gemerlap mengapit seorang DJ sambil menari dengan lincah dan terlihat sangat eksotis. Si DJ pun tidak terlihat lelah terus memainkan musik-musik yang membuat goyangan dua wanita sexy itu semakin panas. Aku menggosok kedua mataku agar aku bisa melihat lebih jelas. Aku takut salah lihat dan bisa jadi itu cuma halusinasi saja. Tak cukup menggosok mataku, kucubit pipiku keras-keras. Sial. Lain kali aku akan mencari cara lain untuk meyakinkan penglihatanku. Pipiku jelas-jelas terasa sakit. Berarti aku benar-benar sadar dengan apa yang kulihat.
Aku bergegas bangun dan melihat sekeliling. Namun tak satupun dari orang-orang yang ada disini menyadari apa yang terjadi di puncak monumen itu. Orang-orang yang berkendarapun tak ada yang menghentikan kendaraannya dan menyadari apa yang terjadi. Semua orang seperti benar-benar terlelap dalam mimpinya masing-masing. Baik dalam keadaan tidur, maupun secara sadar melakukan sesuatu. Dan aku dengar si DJ meneriakan ajakan untuk ikut bergoyang.

“ladies and gentleman, lets get the party started and shake your body........come on.....”

Dan orang-orang semakin larut dalam mimpi-mimpi mereka. Hanya aku yang terpaku dalam ketakberdayaan. Entah mengapa, dentuman musik itu semakin melekatkan rasa pedih dan getir. Aku jadi teringat cerita pak tua. Barangkali kalau cerita itu benar, pasti luka itu seperti apa yang kurasakan sekarang.
Sri Ruwanti
Batam, 1 Agustus 2008

5 komentar:

Anonim mengatakan...

sweet.....keep on writing yaahh...
sampai kriting
(kalo ngga salah kejadiannya di pantai batam view yah???ada DJ cakep disana...)
Disko dimulaiiiiiiii....

Sri Ruwanti mengatakan...

No Ndiks. idenya pas aku pulang kampung tuh. Belum ada kesan ttg si DJ.Jd aku gak nulis ttg dia.

Bambang Saswanda Harahap mengatakan...

salam kenal
pemaparan yang menarik mbak
waktu ?
butuh banyak kalimat dan kata untuk menjelaskan kesederhanaannya..
tempat mbak berdomisili banyak menyimpan inspirasi.. saya pengen sekali ksana

ucog mengatakan...

top, keren banget.masa gak punya cowok sih.g mungkin.

Y. Thendra BP mengatakan...

apa khabar wanty? makasih ya dah bertandang ke blog saya. oya, mudah-mudahan aku masih ingat kamu, kalau pun 'tidak', salahkan saja waktu yang terburu-buru lalu, hehe...(Thendra)

Tardji on perform