Selasa, 20 Januari 2009

RAHASIA MUSTIKA

Ia ingin mengucapkan sesuatu. Mulutnya tak henti-henti bergerak. Namun suaranya seperti tertahan ditenggorokkan. Berkali-kali ia mengerang seperti menahan rasa sakit. Ia hanya bisa terbujur diatas kasur. Sudah satu bulan Bulek Tum bertahan dengan kondisi seperti itu. Ia seperti mayat, tapi nyawa masih bersarang dalam tubuhnya. Tidak merasa mati, tapi juga tidak menikmati hidup. Kabar yang santer terdengar, bulek menanamkan sesuatu kedalam tubuhnya. Sesuatu yang membuat dia terlihat bercahaya, sehingga orang bagaikan tersihir bila melihatnya, menuruti apa yang diucapkannya tanpa ada pemaksaan. Aku kasihan melihat kondisi Bulek Tum. Dia seakan benar-benar akan menjemput ajal. Aku sebenarnya malas mendengarkan gosip murahan berbau tahyul tentang Bulek Tum. Tapi aku juga sudah menyerah dengan hasil pemeriksaan medis yang tidak menunjukkan apa-apa tentang kondisinya. Akhirnya, aku meminta kesediaan Mbah Darmo, orang pintar didesa ini untuk melihat kondisi Bulek Tum.
“Bulekmu menanamkan sesuatu dalam tubuhnya, dan itu harus dicabut terlebih dahulu agar jalan menuju ajalnya tidak tersendat”, begitu penjelasan mbah Darmo.
Terus terang, aku kurang mengerti dengan penjelasannya. Seingatku, Bulek tidak pernah menjalani operasi apapun untuk menanamkan sesuatu dalam tubuhnya. Mbah Darmo tersenyum mendengar tanggapanku akan hasil terawang mata batinnya.
“Kendi…Kendi….kamu itu katanya orang terpelajar. Tapi koq ya cara berpikirmu itu terlalu sederhana. Pantes saja namamu Kendi, diisi hanya untuk dikosongkan kembali”, ia seperti sedang menyindirku.
“Lho, Kendi itu memang buat nampung, Mbah. Lagipula Kendi itu merupakan bentuk kerja sama yang baik antara unsur tanah dan air. Supaya bisa dimanfaatkan oleh manusia. Kalau fungsinya buat nampung, memang harus dikosongkan dulu tho Mbah? Kalau masih ada isi terus diisi lagi, yah….bisa meluber kemana-mana, Mbah”, balasku sambil terbahak-bahak. Dia tidak membalasku, hanya wajahnya yang dingin seakan mengutukku. Aku terdiam, kupikir memang aku terlalu berlebihan. Tak ada yang pantas ditertawakan dari ucapanku tadi. Apa yang kulakukan hanya sekedar bentuk kemenangan atas usahaku membalas sindirinya. Dan seharusnya, itu kunikmati sendiri saja. Lagipula, tiba-tiba ada sedikit kekhawatiran bila ternyata dia benar-benar membalasku dengan manteranya. Maka, jadilah aku orang yang tuli, bisu, atau orang yang kehilangan akal seperti gosip tentang orang-orang yang mendapat bala setelah berurusan dengan Mbah Darmo. Aku jadi teringat perkataan Pak Mardi, tetangga kami yang menganjurkan agar Bulek Tum diterawang oleh Mbah Darmo.
“Bila Mas Kendi bertemu Mbah Darmo, satu hal yang mesti Mas Kendi jaga, u-ca-pan. Jangan sampai ada ucapan yang menyinggung perasaannya, Mas. Kalau sampai beliaunya tersinggung, jadi panjang urusannya. Yah….saya sih bukan sok ngajarin, cuma saya paham penyakit orang-orang sini yang meninggalkan desa dalam waktu lama.
Mulanya aku tidak begitu perduli dengan apa yang diucapkan Pak Mardi. Karena menurutku ia terlalu cepat menyimpulkan bahwa aku terjangkit penyakit yang sama. Tapi tatapan dingin Mbah Darmo sedikit menciutkanku untuk mengingat-ingat nasehat Pak Mardi.
“Lalu apa yang harus kami lakukan, Mbah?”, aku mencoba mencairkan suasana dengan meminta petunjuk darinya. Aku harap usahaku ini bisa membuat aku terlihat lebih rendah hati dimatanya. Supaya dia tidak jadi mengirim manteranya untukku.
“Yah….kita harus melakukan ritual pencabutan mustika yang tertanam di tubuh bulekmu itu”, jawabnya sambil menatap tajam ke arah Bulek Tum.
“Ritual?”
“Ya, bulekmu harus menyelesaikan urusannya sebelum ajalnya tiba.”
“Maksud Mbah?”
“Mustika itu yang menjadi urusanya. Mustika itu adalah urusannya didunia, maka dia tidak boleh membawanya ke liang lahat.”
Aku mulai mengerti apa yang diucapkannya. Aku tidak ingin Bulek Tum terus menerus tersiksa. Maka, akan kulakukan semua ini semata-mata untuk membebaskannya dari siksa itu. Menyelesaikan urusan dunianya, mencabut mustika yang tertanam dalam tubuhnya.
****
Cuma aku dan ibu kerabat satu-satunya yang mempunyai hubungan darah terdekat dengan Bulek Tum. Sehingga, yang menimpa bulek Tum kali ini adalah tanggung jawab kami. Sejak kepergian bapakku dan suaminya, tinggal kami kerabat Bulek. Bulek sendiri tidak mempunyai anak. Sehingga akulah pengganti anak-anak yang tidak pernah lahir dari rahimnya. Kesendirian Bulek tidak membuatnya menjadi lemah. Angin emansipasi berhembus juga ke desa kami. Bulek menjadi orang yang cukup disegani. Dia pandai mengolah perkebunan dan berdagang. Tidak hanya itu, bulek juga dipercaya oleh warga desa menjadi pemimpin. Warga desa percaya bahwa Bulek Tum merupakan sosok pemimpin yang dapat merangkul warga. Selain itu Bulek juga mempunyai konsep-konsep yang jelas dengan arah pembangunan desa. Dia terbuka dengan hal-hal yang baru, tapi tidak mentah-mentah menelannya. Sehingga apa yang disampaikan kepada warganya tidak menjadi sesuatu yang bias. Itulah yang membuat Bulek Tum tampak cerdas dimata warga desa. Sehingga dianggap layak untuk menjadi Kepala desa. Bulek sudah dua periode memimpin. Pernah ia berniat mundur pada pemilihan yang kedua. Semata-mata untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih muda. Namun warga desa belum ingin posisinya digantikan. Itulah yang diceritakan Ibu disela-sela keterjagaan kami menjaga Bulek Tum.
Ibu sendiri sebenarnya agak menyangsikan dengan cerita Mbah Darmo. Beliau tidak yakin bahwa telah tertanam sebuah mestika penyebar pesona di dalam tubuh Bulek Tum. Karena Ibu mengenal bulek sejak dia masih kecil. Menurut ibu, kecerdasan dan rasa percaya diri yang tinggi dari bulek Tum memang sudah tertanam sejak kecil. Sesuatu yang secara alamiah dimiliki dan semakin terasah seiring berjalannya usia. Bukan karena pemikat apapun. Tapi demi kebaikan bulek, ibu merelakan untuk mencoba jalan ini. Dan besok, Mbah Darmo akan datang untuk melakukan ritual pencabutan itu.
****
Kami sudah mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk ritual itu. Kembang tujuh rupa, kelapa gading dua buah, menyan dan kain putih selebar sapu tangan dengan keempat sisinya yang berukuran sama. Itulah syarat-syarat yang diminta Mbah Darmo. Seakan tidak percaya kalau Bulek Tum menanam mustika pemikat yang bernama Mustika Kencana Ungu di dalam tubuhnya. Yah, Mustika Kencana Ungu. Menurut Mbah Darmo, itulah jenis mustika yang ditanamkan dalam tubuh Bulek Tum.
Aku dan Ibu duduk di sisi kiri dan kanan ranjang tempat Bulek terbaring. Tak ada suara yang keluar, hanya mata kami tertegun memandanginya. Sesekali, air mata ibu pecah dari matanya yang sembab.
“Bulekmu orang baik, Ndi”, ucapan ibu memecahkan keheningan kami.
Aku tak menjawab, hanya menganggukan kepala tanda setuju. Hanya itu yang aku lakukan menanggapi kegelisahannya yang terlihat semakin menjadi diantara sesenggukannya. Aku berjalan keluar kamar, melihat wajah malam dari balik jendela di ruang tamu. Mbah darmo belum juga datang. Ku bakar sebatang rokok dan menghirupnya cukup dalam. Lumayan, aku bisa sedikit tenang. Belum sampai hisapan ke-tiga, kudengar pintu diketuk dan aku bergegas membukanya. Mbah Darmo. Aku tertegun, tidak langsung mempersilahkannya masuk. Sampai akhirnya dia sadar akan kebingunganku.
“Sudah dipersiapkan?”, suaranya yang dalam dan wajahnya yang dingin menghentakku.
“Oh, su…su..sudah, Mbah?”, bodoh sekali aku terlihat gelagepan didepannya. Aku mempersilahkan dia masuk. Seperti biasa, dia mengenakan pakaian serba hitam. Aroma tubuhnya yang khas menyan dan melati. Di tangan kanannya memegang kepala kendi. Yah, benda yang sama dengan namaku.
“Sudah bisa dimulai?”, tanyanya.
“Silahkan, Mbah”
Aku menarik pelan bahu Ibu, yang sedari tadi masih duduk di bibir ranjang. Kuajak dia untuk mundur sedikit kebelakang, agar Mbah Darmo dapat lebih leluasa menjalankan ritualnya. Kulihat Mbah Darmo mengangkat kepala Bulek Tum yang terbaring sampai posisi setengah duduk. Didekatkannya kendi itu ke mulut Bulek, dan Bulek mengecap cairan yang keluar dari kendi itu pelan. Bulek dibaringkan kembali. Selanjutnya, aku tidak ingin melihatnya. Kuajak Ibu untuk menunggu diluar kamar. Biarkan Mbah Darmo yang menyelesaikannya. Menyelesaikan urusan Bulek yang tidak boleh dibawanya ke liang lahat.
*****
Dua minggu setelah kepergian Bulek, kami masih merasakan luka yang mendalam. Tidak banyak warga yang hadir menjelang acara pemakamannya. Cerita tentang susuk pemikat itu telah mengubur segala usahanya untuk memajukan desa ini. Sungguh tidak berimbang. Tapi aku coba untuk mengiklaskannya. Belum selesai aku mengurai kenangan tentang Bulek, dari kejauhan, kulihat Lik Gun memanggilku berulang-ulang sambil setengah berlari. Sepertinya, carik desa itu ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting.
“Ada apa Lik, sepertinya buru-buru sekali?”, tanyaku.
“Apa mas Kendi gak berniat ikut dalam pemilihan kepala desa?”
“Kuburan bulek saja belum kering, Lik”, jawabku sambil tersenyum tipis.
“Tapi sudah ada yang mulai menyusun kekuatan, mas”, wajahnya semakin serius. Kali ini aku tidak tersenyum, tapi tertawa terbahak-bahak. Lik Gun mengerutkan dahi, seperti heran dengan tingkahku.
“Ini serius, mas”, kali ini nadanya lebih tegas.
“Aku juga serius, Lik. Kayak mau perang saja menyusun kekuatan. Lagi pula, memang harus ada yang menggantikan Bulek Tum. Biarkanlah mereka, Lik”.
“Tapi sampean yang dianggap saingan terberat mereka, mas”, kalimatnya cukup antusias. Kali ini aku yang membelalakkan mata, mengerutkan dahi. Rasanya aku belum memalukan apa-apa, berpikir untuk maju menjadi calon kepala desa saja tidak. Mengapa ada yang berpikir aku sebagai saingan. Lalu, aku iseng bertanya, “kira-kira kalau aku maju nanti, siapa saingan terberatku, Lik?”
“Pak Mardi”, jawabya tanpa berpikir panjang.
Aku tidak menjawab. Hanya mengarahkan telunjukku kearah rumah yang ada di sebelah rumahku. Lik Gun pun hanya mengangguk. Aku mengepalkan kedua tanganku. Kali ini, aku benar-benar akan menyusun kekuatan.

Sri Ruwanti
HSH-Tanjungpinang, 3 January 2009

1 komentar:

Unknown mengatakan...

asik juga ceritanya, lumayan buat pelajaran berharga dalam kehidupan, bahwa kita jangan terlalu percaya pada tahayyul.

Tardji on perform