Selasa, 20 Januari 2009

SEBUAH TITIPAN

Sesungguhnya, tidak ada sedikitpun cintamu padaku, meskipun tidak sebaliknya denganku. Kau hanya menitipkan janin ini didalam rahimku. Kau ingin janin ini lahir dengan sempurna. Tidak hanya itu, kau juga ingin agar kelak janin ini dapat mewariskan apa yang kau miliki. Baik yang terlihat maupun yang tidak. Aku melihat kesungguhanmu dalam menjaga janin ini. Kau buatkan aku rumah, lengkap dengan isinya. Walaupun tidak seperti rumah Barbie yang berlantai dua, berpagar indah serta garasi lengkap dengan mobil model terkini. Tapi paling tidak rumah ini membuatku bisa lebih bernafas, dibandingkan kost-anku yang cuma berukuran empat kali empat meter. Tidak hanya itu, segala kebutuhanku juga tercukupi. Dia juga rutin membawaku ke dokter kandungan setiap bulannya untuk mengontrol janin yang ada dalam perutku ini. Cukup masuk akal apa yang dilakukannya untukku. Dia ingin agar janin ini tumbuh sehat. Aku anggap ini adalah sebuah amanah yang harus dipegang sampai akhir. Dan aku akan menjaga apa yang kau titipkan ini dengan penuh suka cita serta cinta kasih. Sampai saatnya nanti janin ini keluar dari perutku. Walaupun sekali lagi, tidak ada sedikitpun cintamu padaku.
Aku sah menjadi istri keduanya dengan pernikahan sirih. Tentu saja tanpa sepengetahuan istri tuanya. Walaupun legalitas pernikahan ini tanpa bukti fisik, tapi bagiku yang terpenting adalah penerimaan dimata tuhan. Kusadari untuk tidak berharap lebih dari hubungan ini. Walaupun tidak bisa kupungkiri, aliran darahku setengah hangat mendesir bila mendengar istri tuanya mendapat lebih dari apa yang kudapatkan. Tapi aku tidak begitu saja merasa kalah. Toh dia hanya mempercayaiku untuk mengeram darah dagingnya. Karena jelas-jelas istri tuanya tidak mampu melakukan itu.

Dua bulan kehamilanku kujalani bersamanya tanpa masalah. Hubungan ini terasa hangat. Dia merasa sangat bahagia dengan kehadiran janin titipan ini. Terlihat dari binar matanya setiap mengunjungiku. Dia tidak menyapaku terlebih dahulu, tapi si jabang bayi ini. Sambil menciumi perutku tepat di pucuknya.
“Selamat pagi, sayang”, sapanya sambil mengelus-elus perutku.
“Selamat pagi, papa”, balasku dengan nada yang sengaja kubuat manja.
Aku selalu menggantikan posisi si jabang bayi setiap dia ingin berkomunikasi dengan bakal darah dagingnya. Tak jarang aku menjadi si jabang bayi sekaligus diriku sendiri bila aku ingin mengusir rasa sepiku. Dan aku benar-benar merasakan bahwa aku memang sedang berkomunikasi dengan janin ini. Tak jarang aku mengajaknya bernyanyi atau sekedar menikmati alunan musik. Jazz, itu yang paling dia sukai. Musik yang dapat membius. Lebih-lebih jika ia mendengar Come away with me dari Norah Jones. Dia akan menendang-nendang perutku bila dia merasa belum puas mendengarkan. Dan dia akan tenang, bila aku memutarkan kembali musik itu. Meskipun kami belum pernah bertatap dan saling bicara, tapi aku mulai mengerti tentangnya. Bukankah komunikasi tidak melulu verbal. Dia ada dalam diriku, aku ada dalam dirinya. Kami saling terikat. Kelak, dia akan ku beri nama Jazzy.
***
Dia tumbuh dengan cepat menjadi gadis kecilku yang cantik. Garis mukanya turun dari suamiku. Tapi matanya, tentu saja itu duplikat dari mataku. Kubiarkan dia tumbuh menjadi apa yang dia inginkan. Aku sudah melupakan tentang titipan itu. Jazzy adalah milikku seutuhnya.
Hari ini, suamiku datang padaku dengan raut muka yang mengiba. Dia mengatakan bahwa istri tuanya telah mengetahui hubungan antara aku dan dia. Termasuk juga tentang Jazzy. Awalnya, istri tuanya sangat terpukul dengan berita itu. Lalu, toh dia harus berkaca akan kekuranganya. Akhirnya, istri tuanya itu memaafkan dan mengiklaskan semua. Dengan satu syarat, Jazzy harus ikut dengannya. Dan hal pahit lainnya, dia ingin meninggalkan aku. Itu tak jadi soal buatku. Tapi kalau Jazzy akan dibawa, itu masalah besar buatku.
“Kamu tau awal dari hubungan kita kan?”, dia bertanya tanpa memandang kearahku.
“Lalu?”, aku balik bertanya.
“Mestinya kamu juga tau konsekuensi dari hubungan ini”.
“Aku tau, tapi yang aku tidak mengerti, kenapa Jazzy harus dibawa?”
“Dia darah dagingku”, nadanya mulai tinggi.
“Dan dia juga darah dagingku, aku yang melahirkannya dan aku yang membesarkannya. Kau menikahiku sebagai istri yang sah. Aku bukan penitipan. Silahkan, cari perempuan lain untuk menitipkan cairanmu, agar sewaktu-waktu dapat kau ambil”.
Plak…Tangannya mendarat dipipiku. Dia mendorongku dan mempercepat langkahnya menuju kamar Jazzy sambil berungkali memanggilnya. Bekas tamparan itu masih terasa pedas dipipiku. Tapi aku tidak mau berlama-lama mengeluhkan sakitnya. Kususul dia yang belum menemukan Jazzy. Kutarik kemejanya dari belakang sampai sebagian kemejanya yang tadinya dimasukkan rapi ke dalam celana menjadi setengah keluar. Dia mendorongku lagi sampai aku terjatuh. Dia sukses, jidatku menghantam bibir meja. Saat aku merasakan denyutan dikepalaku semakin menjadi, tiba-tiba aku seakan menemukan dewa penyelamat. Vas bunga. Secepat kilat kuraih dari atas meja dan kulemparkan kearah kepalanya. Kali ini aku yang sukses. Dia ambruk, cairan merah mengalir deras dari luka dikepalanya. Tidak sedikitpun aku merasa panik melihatnya terbujur bersimbah darah. Aku tidak ingin perduli lagi dengan dia. Kubiarkan dia terkapar di lantai. Aku mempercepat langkahku ke arah kamar Jazzy. Aku tidak menemukan dia disana. Tapi aku sudah hafal tempat persembunyiannya. Perlahan kuayunkan kakiku ke arah ranjang. Aku setengah menunduk. Aku tau, dia sadar akan kehadiranku sedari tadi. Perlahan dia memunculkan kepalanya dari kolong ranjang. Lalu keluar dari tempat persembunyiannya itu. Kami saling menatap dan aku tertegun lama memandangi wajahnya. Jazzy memelukku erat. Kubaringkan dia diatas ranjang dan ikut berbaring disampinya. Kudekap dia lebih erat. Dia menyembunyikan wajahnya didadaku. Lagu itu memenuhi ruangan ini. Sayup kudengar dia terbata ikut menyanyikannya.
*Come away with me in the night
Come away with me
And i will write you a song
Come away with me on the bus
Come away where they can’t tempt us
With their lies

Kami ingin merasakan hangat ini lebih lama lagi.

Sri ruwanti
Batam, 13 Januari 2009

* Dari lirik lagu Come away with me oleh Norah Jones

1 komentar:

redaksi mengatakan...

engkau masih tiduri malam
walau hitam kau tak diam
setia dengan kenang
yang mulai kusam
namun kau tambal agar
tetap terang
masih dalam
lupa
pada si punay malam

Tardji on perform