KAKTUS PADA KAMERA SUAMIKU
Aku menemukan foto kaktus dikamera suamiku. Profesinya sebagai seorang wartawan foto. Mestinya aku tak curiga jika ia memotret apa saja. Itulah kehidupan seorang pencerita. Ya, ia bercerita dengan foto-fotonya. Bahkan kau tak pernah cemburu dengan ratusan foto wanita cantik pada kameranya. Tapi kaktus itu menggangguku. Memang ia terlihat begitu anggun. Namun tetap bersahaja.
“Foto ini bagus”, aku memulai pembicaraan.
“Oh…,aku gak sengaja menemukkannya. Indahkan? Bahkan dia tak tau kalau aku memotretnya.”
Tentu saja dia tidak tau. Kalau dia taupun, dia pasti tidak akan menolak untuk kau potret. Dari gayanya, memang dia berharap untuk kau potret. Ia sengaja memamerkan durinya yang bercahaya terbias matahari. Apa ini yang dikatakan intusisi seorang perempuan. Ia seolah bekerja memberi isyarat. Ada apa ini? Ah….kenapa aku harus cemburu pada kaktus.
* * *
Hari yang melelahkan. Udara panas ikut membakar isi kepala. Debu dan keringat berkolaborasi diatas permukaan kulit. Matahari memanggang tanah. Risih. Sial, udara dan kondisi seperti ini membuatku semakin gerah. Kalau bukan karena aku harus melengkapi kebutuhan dapurku, aku ogah harus keluar rumah. Minggu ini usaha cateringku kebanjiran order. Yah..hidup sudah semakin sulit, aku tidak bisa mengandalkan suamiku saja untuk menghidupi kami. Walaupun kecil-kecilan, usaha catering ini ternyata cukup membantu kami. Diawal pernikahan kami, sebenarnya mas Yusuf tidak mengizinkanku untuk bekerja. Dia memintaku untuk lebih fokus mengurusi keluarga. Dia merasa kuat untuk berjuang sendiri. Lebih-lebih setelah kehadiran putra kami. Dia memintaku untuk lebih fokus menjaga Luthfi.
Walaupun kesibukannnya yang tidak pernah berhenti (bahkan tidak memiliki jadwal yang jelas barangkali), tapi mas Yusuf selalu menyempatkan 1 hari dalam seminggu untuk kami berkumpul bersama. Entah itu rekreasi, belanja, makan, atau sekedar bermain dirumah.
Lama-lama aku merasa bosan dengan rutinitasku. Aku ingin ada kegiatan. Lalu kusampaikan niatku untuk bekerja. Awalnya ia menolak, karena dia keberatan kalau Luthfi tidak diasuh olehku. Tapi lama-lama dia mengizinkanku. Aku dapat meyakinkannya bahwa aku dapat mengasuh Luthfi sambil bekerja. Toh, aku bekerja di rumah. Jadi, aku punya banyak waktu untuk Luthfi
Huh, aku memandang sedikit ke belakang. Kenangan manis itu membuatku lupa sejenak pada keadaan kegerahan ini. Sampai aku menghentikan pandanganku pada satu titik. Jantungku berdegup kencang. Udara panas ini menembus kulitku, berhenti di jantung, lalu mengalir lagi melewati sel-sel darah. Aku menemukan suamiku bersama si Kaktus.
* * *
Purnama bersenggayut pada langit yang kelam. Cahayanya menyorot jalan yang menyisakan debu. Panas siang tadi membuat pohon-pohon ikut gerah dan melepaskan daunnya satu persatu ke tanah. Aku masih menatap keluar jendela. Putraku sudah terebah diatas kasurnya yang empuk. Tidurnya begitu nyenyak. Namun sesekali ia bergerak memutar arah badannya. Sudah jam 11 malam. Belum pernah aku segelisah ini. Suamiku belum juga pulang. Jarang aku menunggunya secara khusus seperti ini. Biasanya ia membawa kunci rumah sendiri. Dia tidak pernah berusaha membangunkanku bila saat ia pulang aku sudah tertidur. Tapi aku selalu tersadar bila ia sudah pulang. Aku memahami profesinya. Kejadian siang tadi menyisakan berjuta pertanyaan dalam benakku. Ah…kenapa kepercayaanku berkurang pada suamiku. Temanku pernah bilang kalau semua lelaki itu pada dasarnya kucing garong. Jadi kita tidak boleh 100% percaya padanya. Bukan, aku bukan tidak percaya. Tapi aku waspada. Karena aku mencintainya.
“Lho…kamu belum tidur?”, ia menyapaku.
“Kemana saja kamu seharian ini?”, memang terdengar konyol pertanyaanku ini. Ia mengerutkan keningnya, tersenyum pahit.
“Belum pernah aku mendengar pertanyaan sekonyol ini sejak kita menikah, Ras. Ada apa dengan kamu. Jangan memulai sesuatu yang tidak seharusnya kamu mulai, Rasti.”
Aku menarik napas panjang. Baru kali ini aku muak melihat wajah suamiku. Justru aku yang seharusnya bertanya, apa yang membuat dia pandai menyembunyikan kebohongan.
* * *
Suamiku tetap menyangkal perihal pertemuannya dengan kaktus. Pembicaraan kami tadi malam tak menyisahkan titik terang. Aku juga tidak ingin mengepung suamiku dengan berbagai pertanyaan. Pembicaraan kami berakhir di ranjang dengan posisi saling membelakangi. Aku berharap paginya ia akan membuatkanku telur setengah matang dan susu hangat. Seperti saat kami ada masalah. Hal semacam itulah yang sering dilakukannya sebagai awal permohonan maaf. Memang, aku tidak pernah memulai menyodorkan kata maaf setiap kami punya masalah.
Tapi kali ini lain. Ia sudah berangkat pagi-pagi sekali tanpa mencium keningku seperti biasa. Atau sekedar berpamitan. Entah apa yang terjadi pada kami. Aku berharap semua akan baik-baik saja. Dan mudah-mudahan ini tidak berlangsung lama. Memang dari awal kutemukan foto itu ada yang mengganjal dan seribu satu pertanyaan dalam diriku. Aku membenci kaktus.
Kupikir aku dapat melupakan kejengahanku dengan berjalan-jalan. Ternyata tidak. Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok kaktus. Aku tak henti membayangkan sosok itu melepaskan satu-persatu durinya dan membusurkannya tepat di jantungku. Luka-luka itu masih kecil. Tapi duri-duri yang dilepaskan dari busurnya ini tak pernah berhenti. Luka-luka kecil itu akhirnya menganga. Aku tidak ingin luka itu terus merobek dan menghancurkanku. Aku masih memiliki putra yang harus kulindungi. Dan aku harus kuat untuk itu.
Luthfi, aku baru ingat kalau aku sudah terlalu lama meninggalkannya dirumah bersama pengasuh. Aku harus pulang. Kukemudikan mobilku secepat kilat menuju rumah. Tapi entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang terjadi dirumah. Ah, tidak. Mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja.
Aku melihat mobil suamiku rapi terparkir didepan rumah. Padahal ini belum waktunya dia pulang. Lagi pula tidak biasa dia pulang jam segini. Seribu tanda tanya mulai bermain dalam pikiranku. Perasaan yang sedari tadi memburuku semakin kencang memburuku. Degup jantungkupun semakin capat. Aku berjalan perlahan menuju pintu. Aku sedikit megintip dari jendela depan. Aku melihat putraku bermain bersama kaktus. Tidak hanya itu, suamikupun terlihat sumringah mengajak putraku bermain baersama kaktus.
Darah dalam otakku mengalir kencang. Aku berlari kepintu belakang dan memutuskan untuk memilih jalan itu agar ku bisa masuk ke rumah tanpa harus diketahui mereka. Seribu tanda tanya itu mulai terjawab. Tugasku selanjutnya adalah melindungi keluarga ini. Jangan sampai si kaktus membusurkan duri-durinya lagi. Tidak hanya kepadaku, tapi kepada anak dan suamiku juga. Tidak, aku tidak mau.
Aku melihat pisau dapur yang tersusun rapi. Sesaat aku sempat berkaca pada salah satu sisinya. Aku mencoba menggoreskannya pada ujung telunjukku. Setitik darah keluar dari irisan kecil itu. Sakit. Ya, akan lebih sakit lagi bila goresan itu kubuat lebih besar. Aku berjalan perlahan ke ruang depan. Kaktus masih mengajak suamiku dan putraku bersenang-senang. Aku semakin mendekat kearah mereka. Suamiku sesaat tersadar akan kehadiranku. Wajahnya bagaikan purnama, pucat pasi. Ia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku tak punya waktu mendengar penjelasannya.
Kutarik kaktus itu dari genggaman putraku. Durinya menancap melukai telapak tanganku. Aku tak perduli. Kubalas serangan itu dengan mencabik-cabiknya sampai kumerasa dia sudah tidak dapat membalasnya lagi. Suamiku tak berbuat apa-apa. Hanya tertegun menatap yang baru saja terjadi sambil memeluk putraku yang sedari tadi melingkarkan tanganya ketubuh suamiku sambil menyembunyikan wajahnya. Memang dia tak perlu melihat apa yang baru saja terjadi.
“Apa yang kamu lakukan, Rasti”, suara suamiku terbata.
“Kamu tidak akan pernah bisa memelihara kaktus itu dirumah ini. Lagipula kaktus itu sudah tidak indah, bukan?”.
Kelepaskan pisau dari genggamanku. Kubasuh darah yang menyelimuti tangan. Aku merasa lelah sekali hari ini. Walaupun begitu, aku merasa tugasku sudah selesai. Sudah saatnya aku istirahat dulu.
Sri Ruwanti
Batam, 28 Mei 2008
Senin, 21 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar