Selasa, 21 Oktober 2008

KEMBANG DITAMAN ISTRIKU

Aku tak jua beranjak dari meja kerjaku. Jemariku hanya menari-nari diatas keyboard komputer. Mungkin ini yang juga pernah dilakukan oleh Bethoven. Hanya saja, tarian dari jemari Bethoven bisa menghasilkan nada-nada yang melegenda dari pianonya. Yang dapat dinikmati oleh siapa saja yang mendengarkannya. Tapi aku, Jemari yang menari diatas keyboard ini hanya bisa dinikmati oleh aku sendiri. Tidak terdengar, tetapi ada. Entahlah. Akhir-akhir ini segala yang terasa samar dimata orang-orang, mejadi begitu jelas dalam pandanganku. Bahkan setan-setan yang bercokol pada sudut-sudut kamar,dan diatas meja kerjaku. Pada mulanya aku begitu merasa asing. Tapi kemudian ini sudah menjadi menu sehari-hari. Seperti telur setengah mateng yang selalu disiapkan oleh istriku setiap pagi.
Tak hanya dirumah, dikantorpun aku mengalami hal yang sama. Pernah suatu hari aku dipanggil oleh atasanku, Pak Gandhi. Sehubungan dengan laporan perjalanan dinasku ke Balikpapan beberapa waktu yang lalu. Karena perusahaan tempat aku bekerja akan membuka cabang disana. Pada saat aku memasuki ruangan Pak Gandhi seolah ada bayangan gelap menyelimuti ruangan itu. Dingin. Tubuhku megeluarkan keringat dingin. Ingin rasanya aku cepat-cepat keluar dari ruangan itu. Tapi tak bisa. Kakiku serasa menjadi salah satu kutub magnet yang berlawanan dengan lantai. Aku hanya terpaku saja didepan meja atasanku itu. Sampai akhirnya dia mempersilahkan aku duduk. Aku mulai menjelaskan hasil laporanku padanya. Pada mulanya aku melihatnya, biasa saja. Walaupun aku mulai merasa tak nyaman sejak aku masuk ke ruangan ini. Perlahan-lahan aku mulai merasakan ada perubahan pada Pak Gandhi. Mula-mula aku melihat telapak tanganya yang ditumbuhi rambut halus kecoklatan. Semakin lama semakin menebal. Tapi, aku mencoba tak menghiraukannya. Aku terus menjelaskan laporanku. Tak hanya itu. Wajahnyapun berubah. Yah, Pak Gandhi tiba-tiba berwajah srigala. Matanya yang merah tajam menatapku. Aku semakin merasa tak nyaman. Oh....gila, degup jantungku semakin cepat. Matanya terus menatapku. Bibirku terkunci. Aku tak mampu meneruskan kalimatku. Bahkan tak satu hurufpun. Lebih-lebih ruangan ini semakin lama semakin terasa berguncang. Tubuhku terpental dari satu sudut ke sudut yang lain. Aku mulai tak kuat dengan keadaan ini. Sorot merah itu tak lepas mengikuti tubuhku yang terpental kesana kemari. Aku lelah. Dan kubiarkan saja gelap itu menghampiri.
“Mas...mas...kamu sudah sadar?”, aku mengenali suara itu. Aku melihat sekelilingku. Kenapa aku bisa dirumah. Yang kutau, terakhir aku berada dikantor untuk melaporkan perjalanan dinasku. Aku merasakan belaian lembut itu sebelum aku sadar. Memang tangan itu yang setia melayaniku selama tujuh tahun ini. Dari menghidangkan makanan, mempersiapkan baju, sampai menemaniku tidur. Yah, itu adalah tangan lembut Laras, istriku.
“Kamu tadi diantar oleh teman-teman kantormu. Katanya kamu pingsan. Aku jadi kuatir. Aku antar ke dokter ya?”, suara manjanya berbisik ditelingaku.
“Gak usah, aku baik-baik aja koq.”
“Kamu beda sejak pulang dari Kalimantan. Kata Pak Gandhi kamu pingsan waktu mau memberikan laporan perjalanan dinas itu. Apa ada yang mengganjal”, pertanyaan itu seolah memburuku.
“Apa aku seperti orang yang punya rahasia, Ras? Aku Cuma capek “, aku mencoba berdalih.
“Terserah, aku juga gak mau maksa kamu, Mas “, nadanya menyerah. Sambil berlalu meninggalkanku sendiri terbaring di kamar.
******
Laporan perjalanan dinas telah selesai kukerjakan. Proyek Kalimantan itu memang tanggung jawab besar buatku. Tapi syukurlah, aku bisa melewatinya tanpa suatu kendala yang berarti. Dan atasanku, Pak Gandhi juga puas dengan hasil kerjaku. Tadinya kupikir proyek Kalimantan itu yang mengusikku. Tapi ternyata tidak. Kamu benar Laras. Aku merasa ada suatu keganjilan yang belum kuselesaikan. Setan-setan yang bercokol disetiap sudut ruanganpun sekarang bukan sesuatu yang asing. Tak ada yang perlu ditakuti. Aku mulai terbiasa.
Hal yang tak membuatku biasa adalah kebiasaan istriku akhir-akhir ini. Aku sering menangkap basahnya menyiram bunga yang ia letakkan di sebelah kolam ikan di rumah kami. Menyiram bunga itu kegiatan wajar. Tapi kalau kegiatan itu dilakukan di tengah malam, sesaat setelah ia tersadar dari tidurnya, kupikir itu bukan sesuatu yang wajar. Dan itu bukan sekali. Aku menemukkan keganjilan itu sudah beberapa kali. Pernah aku menegurnya.
“ Kenapa kamu bangun malam-malam cuma buat siram bunga, Ras”, tanyaku.
“ Aku cuma ingin mewujudkan apa yang kamu inginkan”, jawabnya
“ Apa?”, balasku
“ Ah sudahlah, kita bicarakan lagi besok pagi. Aku sudah ngantuk”, seolah menghindar pertanyaanku.

Aku tak mengerti ucapnya. Sikapnya berubah 180 derajat dari tadi malam. Manis, dan tentu saja melayaniku dengan manja. Tidak seperti tadi malam, dingin. Aku mencoba membahas masalah keanehannya. Tapi dia seolah tidak mengerti dengan ucapanku.
“ Kamu ini ngomongin apa sih, mas. Jelas-jelas semalam aku tidur nyenyak banget. Kerjaanku banyak belakangan ini. Bukannya aku sudah cerita sama kamu. Sayang....aku tau kamu masih capek setelah pulang dari Kalimantan. Tapi bukan berarti kamu bisa mikir yang aneh-aneh tentang aku. Enak saja kamu”, ketusnya sambil melingkarkan kedua tangannya dibahuku. Mukanya masam. Tapi bibirnya yang basah begitu dekat dengan bibirku. Dia memang menginginkan aku cepat-cepat melumatnya. Sepergianku, kamu pasti sangat kesepian. Tujuh tahun pernikahan kita, di rumah ini hanya ada aku dan kamu. Memang begitu sepi, Ras. Huh....Laras, aku rindu padamu. Seberapapun dia mencoba mengatur nafasnya, degup jantung dan aliran darahnya sangat aku rasakan. Kulit kami bersentuhan. Dia begitu lihai menghapal ritme permainan ini. Menggeliat, mengejang, dan sofa menenggelamkan kami dalam kerinduan.
*****
Aku tak menemukan istriku di ranjang. Kulihat jam dinding, jam dua belas malam. Aku selalu terbangun di jam yang sama beberapa hari ini dan anehnya, dia selalu tidak ada dikamar. Seperti telah menjadi kebiasaan, aku tau kemana harus mencarinya. Belum sempat kuangkat tubuhku dari ranjang, kudengar teriakannya histeris. Secepat kuayunkan tubuhku melesat ke arah suaranya. Kudapati ia terduduk lemas sambil mengerung mengeluarkan air mata. Pot-pot bunga pecah disekitarnya. Namun tak satupun kudapati diantara pecahan pot dan tanah yang berserakan, bunga-bunga yang selalu di siram istriku setiap malam. Kudekati dia perlahan.
“Ada apa, Ras?”, tanyaku lirih.
“Mereka mengambil semuanya dariku, semuanya mas. Aku menjaganya agar rumah ini bisa terlihat indah. Agar rumah ini tak sepi lagi.”, isaknya sambil memelukku.
Ah......Rasti jangan buat aku menjadi semakin gila. Kau meranyau tak tentu arah. Aku tergopoh mengangkat tubuhnya kekamar. Kubaringkan tubuh layunya ke ranjang. Beberapa tetangga yang mendengar teriakan itu mendatangi rumah kami. Khawatir kalau-kalau terjadi apa-apa. Tapi aku berhasil meyakinkan mereka bahwa tak terjadi apa-apa.
Kupandangi wajah lembut istriku yang terlelap. Tak tersirat apa-apa selain kepedihan dan kerinduan. Aku tau, ada yang sangat ingin dia miliki. Rasa kesepian itu tak bisa dihindari, sekalipun aku selalu berusaha menyediakan waktu untuknya. Yah....tujuh tahun pernikahan kami adalah penantian. Berharap rumah kami akan ramai dengan tangis dan tawa anak-anak kecil yang menjadi obat pelepas lelah sepulang kerja. Melihat mereka tumbuh. Hanya keinginan sederhana sebenarnya. Tapi kenapa aku merasa begitu sulit mewujudkannya.
Aku tersentak dari lamunku. Kulihat istriku sudah mulai sadar. Namun bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan sesuatu. Dia menarik bantal menutupi perutnya seolah ingin melindunginya. Aku semakin tak mengerti dengan tingkahya. Sorot matanya ketakutan seolah menunjuk sesuatu yang tak terlihat olehku. Achh...sial, mengapa kondisinya jadi berbalik begini. Aku masih tak mengerti apa yang ditunjuk Laras. Aku yakin apa yang dilihat Laras adalah mahluk-mahluk yang pernah ku lihat sebelumnya. Jari-jari tangan istriku bergetar, semakin lama semakin tak terkendali. Aku mulai mengutuk mahluk-mahluk itu. Mereka terus membuntutiku. Istriku semakin histeris. Aku mencoba menahannya. Tapi dia terlihat semakin ketakutan. Aku tak tau harus berbuat apa. Kuraih vas bunga yang ada dimeja dan kulemparkan kearah yang ditunjuk terus menerus oleh istriku. Tapi dia juga tak mengehentikan reaksinya. Tapi perlahan-lahan dia diam. Hanya tetesan bening menggenang diujung-ujung matanya. Oh istriku, aku berjanji akan memelihara bunga-bunga yang ada ditamanmu. Aku akan merawatnya. Dan tak kubiarkan ada yang merusaknya dan mengambilnya dari kita.

Batam, 26 September 2008

Tidak ada komentar:

Tardji on perform