Selasa, 21 Oktober 2008

HUJAN DAN SAHABAT MATAHARI

Mereka dipertemukan oleh hujan. Diantara rasa cinta yang mendalam dan kegelisahan dalam luka yang membatu, mereka hanya bisa menerima kenyataan untuk memburu atau bersembunyi. Jika hujan mereda, keduanya terkubur dalam kehampaan. Luluh bersama butiran-butiran air yang menempel pada kaca jendela. Mengalir seperti deretan sungai kecil yang mencari muara.
****
Ia berlari bagaikan pemburu yang lapar. Matanya tajam berkaca seolah mengeja butiran air yang turun ke bumi satu persatu. Hujan adalah penantiannya. Setiap hujan turun, ia seakan tak bisa mengendalikan diri. Tawanya lepas bersama tarian yang ia bawakan dibawah hujan. Cukup lama ia tekurung dalam kesendiriannya. Sampai pada saat itu tiba, dilepaskannya semua kerinduan. Ketika hujan mereda dan menyisakan butirannya pada ranting dan bunga-bunga, ia hirup dalam-dalam aroma tanah yang basah. Tubuh ringkihnya tak lagi membungkuk layu. Hujan telah memberikan energi kepadanya. Hujan adalah kehidupan baginya. Orang-orang memanggilnya Gadis Hujan. Karena kecintaanya pada hujan telah buta dan tak terkendali. Orang tuanya sendiri telah buntu memikirkan apa yang terjadi pada putri semata wayang mereka. Dan merelakan semua itu menjadi sebuah kebahagiaan. Hanya terkadang kecemasan tak bisa dihindari. Karena hujan tak selalu datang sendiri. Terkadang ia datang bersama badai dan halilintar yang siap menyambar sewaktu-waktu. Namun gadis hujan merasa alam adalah satu kesatuan. Jika ia mencintai hujan, maka ia juga akan mencintai apa yang mengiringi hujan untuk sampai padanya. Fenomena alam yang hadir bersama hujan juga sahabat yang tak akan menyakiti.
Tangis ibunya lirih ketika melihat ia kembali layu diatas tempat tidurnya setelah hujan tak lagi menyapanya dalam beberapa hari. Energi yang ia dapatkan saat hujan turun mulai memuai. Awalnya mereka mengira semua itu akibat tenun yang dikirimkan oleh orang yang tidak senang dengan keluarga mereka. Tapi apa mungkin, mereka merasa tak pernah punya musuh dan berharap tidak akan pernah punya musuh. Kata-kata yang diucapkan dalam setiap pergaulan yang terjalin sebisanya disampaikan dengan santun dan berusaha tak menyakiti. Namun hati manusia siapa yang tahu. Bahkan mawar yang indahpun terkadang bisa melukai. Inikan pula lidah yang tak bertulang. Barangkali disetiap kata yang tertata ada juga yang menyisakan luka. Sehingga timbul amarah, dan akhirnya menjadi dendam yang membara dan dikirim lewat sumpah serapah. Itulah pikiran yang selalu singgah setiap kali memikirkan apa yang terjadi pada putri semata wayang mereka.
“Dara….Dara….Setan apa yang bersarang dalam tubuhmu, nak?”
“Husss…ngomong apa ibu ini, jangan terus menjadi tidak rasional begitu dong. Setan terlalu segan bersarang ditubuh putri kita, Bu.”
“Tapi diagnosa medis juga tidak menjawab apa yang terjadi pada putri kita, Pak.”
“Apalagi diagnosa Ki Jrago Brodo, yang setiap kesini cuma nyembur sana nyembur sini. Gak tahan aku, Bu.”
“Gak tahan kenapa, Pak?”
“Gak tahan dengan bau kemenyannya. Barangkali Dara juga, Bu. Makanya setiap Ki Jrago kesini dia lebih baik pinsan dari pada nyium bau menyannya itu.”
Keduannya tertawa kecil. Seolah membiarkan kepedihan itu menjadi guyonan yang menyelimuti kepedihan dan membiarkan semuanya menjadi lebih terasa hangat, ketimbang harus menyisakan kebekuan setiap saat. Tubuh sang Dara lunglai, tatap matanya kosong, namun kekosongan itu masih mampu menjadi energi yang menarik bibirnya untuk tersenyum seolah mendengar. Meski tipis, senyumnya ingin menjawab kegundahan semua orang tentang dirinya. Bahwa tak perlu ada yang dirisaukan. Dia hanya ingin menikmati hujan sebagai kehidupannya. Hanya itu.
***
“Jelita………keluar nak”, teriakan itu terdengar pedih.
“Sudahlah Bu. Dia akan keluar sendiri kalau dia sudah tenang”, lelaki yang berada dibelakang wanita yang menangis itu coba menenangkan.
Namun jelita tak kunjung keluar dari kolong tempat tidurnya. Ia tutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Telinganya ditutupi dengan kapas. Wajar jika ia tak mengindahkan panggilan ibunya. Atau mungkin dia samar mendengar, hanya saja pura-pura tak mendengar. Badannya beku, namun tak henti bergetar. Seolah dingin itu benar-benar telah merasuk keseluruh tubuhnya. Ketakutan itu menjadi-jadi ketika hujan datang. Hanya saja, rasa risau selalu ada dibenak ibunya. Dia tak sanggup melihat putrinya berlama-lama dibawah kolong yang sumpek yang mungkin bahkan kekurangan udara karena sekujur tubuh putrinya terlilit selimut tebal berlapis-lapis. Tak banyak yang bisa dilakukan atas keganjilan yang terjadi padanya. Hanya berharap agar hujan, kilat yang menyambar dan suara gelegar cepat mereda. Maka ia akan kembali seperti semula. Keluar dari kolong tempat tidurnya, mandi dan duduk manis didepan meja rias sambil mempercantik diri. Seolah tak terjadi apa-apa. Orang-orang menyebutnya Gadis Surya.
Hujan membuatnya jadi tak terkendali. Berlari-lari seperti diburu dan bersembunyi mencari tempat berlindung agar hujan dan fenomena yang menyertainya tak menemukannya. Entah kenapa, kolong tempat tidur dijadikan tempat persembunyian teraman baginya. Padahal hujan juga datang bersama matahari. Namun dia lebih merasa nyaman jika matahari datang sendiri.
***
Taman ini masih meninggalkan jejak hujan yang datang kemarin. Walaupun hanya sedikit, namun bagi sang Dara, itupun sudah cukup untuk dijadikan pasokan energi untuknya bila hujan datang terlalu lama. Tapi bagi Jelita, sisa hujan bukan masalah. Itu tak menunjukkan tanda-tanda bahwa hujan akan segera kembali. Dan dia bisa menikmati matahari yang datang sendiri sambil mecium bau bunga-bunga. Di taman ini mereka duduk dibangku yang sama. Seperti orang yang sudah berkenalan lama, satu sama lain bercerita tentang diri mereka masing-masing. Padahal mereka baru satu kali bertemu. Namun keduanya seperti kutub magnet yang berlawanan. Saling tertarik akan cerita yang disampaikan satu sama lain.
“Kau tak perlu takut akan hujan, Jelita. Karena hujan akan memberimu kehidupan”, Dara coba memberi kekuatan.
“Begitu juga kau, Dara. Kau harus sering-sering melihat matahari agar hangat itu datang padamu. Jangan terus menerus memburu hujan”, Jelita membalasnya.
Mereka dipertemukan oleh hujan. Satu sama lain saling memberi kekuatan sebelum mereka berpisah di taman yang menyisahkan hujan dan hangat oleh matahari. Tak ada lagi cerita tentang Gadis Hujan dan Gadis Surya. Keduanya telah terkubur bersama kehangatan serta kesejukan yang secara seimbang ditebarkan oleh dua gadis muda, Dara dan Jelita.

Batam, 6 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Tardji on perform